Sabtu, 14 Januari 2012

Peristiwa Malari dan Gelapnya Sejarah


Malari, singkatan dari Malapetaka Lima Belas Januari, adalah satu diantara rentetan kejadian bersejarah lainnya, yang hilang, tenggelam dalam kegelapan sejarah, terhapus debu pekat, tergerus kerakusan sang penguasa, sehingga hari ini, titik terang seakan mustahil ditemukan.

Artikel dibawah ini memberikan sedikit gambaran tentang peristiwa Malari. Meski ditulis tahun 2003 lalu, namun masih sangat layak untuk dibedah dan dijadikan kajian sejarah. Sehingga sebagai generasi bangsa kita tidak melupakan sejarah.
Jangan  melupakan sejarah (Jasmerah) Ir. Soekarno.
Kekerasan di Indonesia hanya dapat dirasakan, tidak untuk diungkap tuntas. Berita di koran hanya mengungkap fakta yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal “Peristiwa Malari”, tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.
Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Itu memperlihatkan, suasana Kota Jakarta masih mencekam.
PERISTIWA Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar.
Ada analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo. Kecenderungan serupa juga tampak dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini, meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000), dapat disebut permainan “jenderal kalajengking” (scorpion general).
Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto menghentikan Soemitro sebagai Pangkomkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono “didubeskan”, diganti Yoga Sugama.
Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng kening karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah.
Selanjutnya, ia amat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria “pernah jadi ajudan Presiden”. Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental.
Dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis.
Malari sebagai wacana
Dalam buku Otobiografi Soeharto (terbit tahun 1989), kasus Malari 1974 dilewatkan begitu saja, tidak disinggung. Padahal, mengenai “petrus” (penembakan misterius), Soeharto cukup berterus terang di situ.
Dalam Memori Jenderal Yoga (1990), peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak 1973. Yoga Sugama ada di New York saat kerusuhan 15 Januari 1974. Lima hari setelah itu ia dipanggil ke Jakarta, menggantikan Soetopo Juwono menjadi Kepala BAKIN.
Menurut Yoga, ceramah dan demonstrasi di kampus-kampus mematangkan situasi, bermuara pada penentangan kebijakan ekonomi pemerintah. Awalnya, diskusi di UI Jakarta (13-16/8/1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB Simatupang. Disusul peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan “Petisi 24 Oktober”.
Kedatangan Ketua IGGI JP Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.
Dalam buku-buku Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi. Soemitro mengungkapkan, Ali Moertopo dan Soedjono Humardani “membina” orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam). Pola pemanfaatan unsur Islam radikal ini sering berulang pada era Orde Baru.
Dalam kasus Malari, lewat organisasi itu dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kyai Nur dari Banten. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen. Kegiatan itu-antara lain perusakan mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca Cola-dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono (Heru Cahyono, 1992: 166).
Sebaliknya, “dokumen Ramadi” mengungkap rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus, “Ada seorang Jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan Presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh”. Ramadi saat itu dikenal dekat dengan Soedjono Humardani dan Ali Moertopo. Tudingan dalam “dokumen” itu tentu mengacu Jenderal Soemitro.
Keterangan Soemitro dan Ali Moertopo masing-masing berbeda, bahkan bertentangan. Mana yang benar, Soemitro atau Ali Moertopo?
Kita melihat pelaku kerusuhan di lapangan dibekuk aparat, tetapi siapa aktor intelektualnya tidak pernah terungkap. Ramadi ditangkap dan meninggal secara misterius dalam status tahanan.
Sebagian sejarah Orde Baru, termasuk peristiwa Malari 1974, memang masih gelap.
Judul asli: Malari 1974 dan Sisi Gelap Sejarah
Oleh: Asvi Warman Adam (Sejarawan LIPI)
Sumber: Kompas 16 Januari 2003

Sabtu, 07 Januari 2012

Modal Asing Dan Neokolonialisme

Sampai kapan Indonesia bergantung terus kepada “modal asing”? Di jaman kolonialisme, bangsa kita dihisap oleh kapital asing. Sekarang pun, di jaman Indonesia merdeka, modal asing  masih terus menghisap ekonomi nasional kita. Lantas, apa yang sudah berubah?
Kolonialisme, kata Bung Karno, justru menjadi jembatan bagi modal asing untuk jengkelitan di atas bumi Indonesia. Lalu, dengan mengeksploitasi kekayaan alam dan tenaga rakyat Indonesia, mereka memperbesar diri dan terus beranak-pinak. Sementara  rejeki rakyat Indonesia kocar-kacir karenanya.
Bung Hatta tidak ketinggalan memperingatkan bahaya “ketergantungan” terhadap modal asing. Katanya, kalau kapital didatangkan dari luar, maka tampuk produksi akan dipegang oleh orang luaran. Hal itu akan berbahaya: pemodal asing akan dengan leluasa mengangkut keuntungan dari bumi kita. Sebab, logika modal adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Gagasan dua tokoh pendiri bangsa ini—juga para pendiri bangsa lainnya—menjadi dasar perumusan pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 jelas mengisyaratkan pengelolaan sumber daya ekonomi mesti dikontrol oleh negara untuk memastikan keuntungannya bisa memakmurkan rakyat.
Anehnya, sejak jaman orde baru hingga sekarang, tidak satupun rejim yang menjalankan amanat pasal 33 UUD 1945 itu. Pemerintah sejak saat itu sangat patuh dan menghamba kepada modal asing. Di akhir kekuasaan Soekarno, lahir produk hukum yang menaungi kepentingan modal asing: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967.
Lalu, di puncak kejayaan rejim orde baru, pada tahun 1994, seiring dengan tuntutan perluasan modal asing, dikeluarkan PP No 20/1994. Sejak itu, modal asing dibolehkan mengambil posisi dominan dalam perekonomian Indonesia.
Kemudian, pada tahun 2007, di era pemerintahan SBY yang sangat pro-neoliberal, dikeluarkan lagi UU No 25/2007 tentang PMA. Dalam UU PMA yang baru ini, modal asing tidak lagi dibatasi—bisa 100%. Hak guna usaha bisa 94 tahun dan, jika waktunya sudah habis, bisa diperpanjang 35 tahun lagi. Lebih tragis lagi: tidak ada lagi perlakuan berbeda antara modal asing dan domestik.
Modal asing pun menggurita menguasai ekonomi nasional. Akibatnya, sebagian besar sumber daya alam dan sektor ekonomi strategis dikuasai asing. Akhirnya, seperti diperingatkan Bung Karno, sebagian besar keuntungan mengalir keluar, sedangkan rakyat ditinggal kering-kerontang. Konon, rakyat Indonesia hanya menikmati 10% dari keuntungan ekonomi, sedangkan 90%nya dibawa oleh pihak asing keluar.
Kehadiran modal asing juga memicu perampasan tanah rakyat. Tidak jarang, aksi perampasan tanah rakyat disertai kekerasan. Banyak rakyat kita yang menjadi korban di tangan aparat yang menjadi “centeng” pemilik modal. Itulah yang terjadi di Mesuji (Lampung), Bima (NTB), Tiaka (Sulteng), Papua, Sumetera Selatan dan berbagai tempat lain di Indonesia.
Modal asing juga gagal mengangkat ekonomi nasional. Pemerintah dan sejumlah ekonom pro-neoliberal menyakini, kehadiran investasi asing akan membantu pembangunan industri di dalam negeri. Yang terjadi justru sebaliknya: sebagian besar industri dalam negeri gulung tikar akibat tidak bisa bersaing dengan modal asing. Juga, atas tekanan modal asing, sejumlah BUMN strategis kita berpindah tangan kepada pemilik modal asing.
Kita tidak anti terhadap bantuan asing. Setiap bantuan ekonomi yang diterima tidak boleh disertai syarat-syarat yang merugikan: tidak boleh mendikte kita secara ekonomi dan politik. Justru, jika ada bantuan dari pihak luar, negara harus aktif untuk mengkoordinasikan dan mengarahkannya guna membiayai sektor-sektor ekonomi yang prioritas.
Begitu juga dengan investasi asing, hanya diperbolehkan di sektor-sektor yang tidak strategis dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Itupun harus dikontrol dan diarahkan oleh pemerintah. Kehadiran modal asing itu harus menghormati kedaulatan dan martabat bangsa Indonesia.

Mahasiswa Lampung Umumkan Evaluasi Terhadap Kepemimpinan SBY-Budiono

Menjelang petang kemarin (5/1/2012), puluhan perwakilan aktivis pergerakan mahasiswa di Lampung mendatangi kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di perintis kemerdekaan Tanjung Karang, Bandar Lampung.
Namun kehadiran mereka bukanlah untuk menggelar aksi massa, melainkan hendak menyampaikan evaluasi kritis terkait kepemimpinan rejim SBY-Budiono. Mereka membawa puluhan point kesimpulan terkait kegagalan rejim SBY-Budiono memimpin negara.
“Kami sudah menginisasi sejumlah agenda diskusi bersama. Di dalamnya ada evaluasi terhadap kepemimpinan rejim SBY-Budiono. Ini juga awal konsolidasi gerakan mahasiswa,” ujar Falentinus Andi, aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), ketika menyampaikan maksud kedatangannya.
Isnan Subkhi, aktivis dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), memulai uraiannya terkait evaluasi kritis mahasiswa tersebut. Menurutnya, hampir semua persoalan bangsa yang terjadi saat ini bermuasal dari keberpihakan pemerintah terhadap kebijakan neoliberalisme.
“Para pemimpin kita menderita penyakit kecanduan neoliberal yang akut. Ini terjadi di nasional dan daerah, termasuk rejim Sjachroedin ZP di Lampung,” kata Isnan.
Ketua Universitas Lampung (Unila) itu juga menyebut rejim SBY-Budiono telah “mengabaikan UUD 1945”. Pasalnya, kata dia, hampir semua kebijakan ekonomi dan politik rejim itu tidak berpatokan kepada UUUD 1945.
Sementara aktivis dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Benny Hutapea, hanya menggunakan satu kata untuk mengungkapkan evaluasi terhadap rejim SBY-Budiono: memprihatinkan!
Hampir senada dengan Isnan, Benny juga mempersoalkan keberpihakan rejim SBY-Budiono kepada agenda neoliberalisme. “Harusnya SBY memihak kepada rakyat, bukan kepada kepentingan negeri-negeri imperialis,” ujarnya dengan nada tegas.
Evaluasi ini melibatkan puluhan organisasi mahasiswa, diantaranya: GMKI, LMND, PMKRI, PMII, HUMANIKA, GMNI, KMHDI dan KAMMI. Konsolidasi ini diharapkan akan menjadi semacam front persatuan sektor mahasiswa.
Berikut beberapa point evalualuasi dan rekomendasi mahasiswa Lampung:
  1. Keberpihakan Pemerintah dari pusat sampai daerah kepada sistem neoliberalisme merupakan penyebab dan sumber kemelaratan bangsa saat ini;
  2. Supremasi penegakkan hukum yang tebang pilih serta produk perundang-undangan masih sangat bermasalah dan ditunggangi kepentingan elit;
  3. Tidak ada jaminan tentang kebebasan beragama sehingga menjadi sangat penting untuk tetap menegakkan 4 Pilar RI (Pancasila, UUD 45, NKRI, Bhineka Tunggal Ika);
  4. Sistem pendidikan belum bisa mencapai output mahasiswa yang bermutu dan berkompeten untuk siap bersaing di dunia kerja, disamping itu realisasi anggaran pendidikan pun masih bias;
  5. Terkait konflik agraria ; Mendesak Pemerintah untuk menegakkan secara konsekuen UUPA’60 dan segera membentuk panitia nasional penyelesaian konflik agraria;
  6. Membangun industrialisasi untuk kesejahteraan rakyat;
  7. Nasionalisasi seluruh perusahaan asing;
  8. Henikan represifitas terhadap rakyat dan usut tuntas kasus HAM;
  9. Usut tuntas seluruh kasus korupsi (BLBI, Century, Wisma Atlet, dll);
  10. Pemerintah Provinsi Lampung lambat dalam penyelesaian konflik agraria di daerah;
  11. Kebijakan pemerintah kota bandar lampung yang mengesampingkan tata ruang dan amdal terhadap pembangunan infrastruktur
  12. Gubernur ingkar janji mengenai UMP harus seratus persen KHL;
  13. Realisasi CSR harus tepat sasaran dan seoptimal mungkin direalisasikan bagi kesejahteraan masyarakat;
  14. Pembangunan dan pengadaan pelayanan publik sangat minim dan tidak tepat guna;
  15. Pertegas tugas pokok dan fungsi POLRI dan TNI untuk menjaga keamnana dan kedaulatan NKRI dan melayani masyarakat;
  16. Subsidi yang semakin dihapuskan dan tak tepat sasaran;
  17. Pemerintah harus membuat proteksi bagi usaha kecil menengah rakyat dan mencabut izin pendirian minimarket yang mengancam pasar lokal;
  18. Mengembalikan kedaulatan perekonomian dengan menegakkan kembali prinsip koperasi dan Pasal 33 UUD’45;

Reformasi Agraria Di Era Bung Karno

Upaya merombak sistem  agraria warisan kolonial sudah dimulai sejak awal masa  kemerdekaan. Tekad  kuat untuk melikuidasi tatanan agraria yang timpang, dengan meredistribusi tanah bagi buruh tani serta  petani miskin, sudah muncul di kalangan pemerintahan, partai politik dan organisasi rakyat. Umumnya, tuntutan refomasi agraria pasca proklamasi kemerdekaan (1945-1950) muncul dari  para petani penggarap tanah-tanah partikelir. Model partikelir ini sudah bermunculan sejak berlakunya Undang-undang Agraria produk kolonial Belanda tahun 1870 (Agrarische Wet 1870).
Reformasi Agraria di Awal Kemerdekaan
Tuntutan para petani penggarap itu termanifestasi dalam  rupa-rupa bentuk perlawanan. Ada yang berupa protes sosial, pendudukan lahan, maupun perampasan. Perlawanan ini sudah bergelora jauh sebelum Indonesia merdeka.
Perlawanan rakyat juga mengarah pada tata kelola agraria yang berbasiskan sistem feodal. Salah satu contohnya adalah perjuangan berbagai organisasi rakyat yang terhimpun dalam gerakan anti swapraja pada  tahun 1946 di daerah Surakarta. Gerakan ini bertujuan menghapus status Daerah Istimewa bagi Surakarta. Pasalnya, status daerah istimewa juga berdampak pada sistem kepemilikan tanah yang masih kental bercorak feodal. Gerakan sosial tersebut berhasil mendorong pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk  menjalankan reforma agraria dengan menghapuskan hak istimewa beberapa desa perdikan milik Mangkunegaran di daerah Banyumas, Jawa Tengah.
Selanjutnya, pemerintah pusat mengeluarkan  Undang-undang No. 13 tahun 1946, yang menegaskan: hak istimewa (atas tanah) tidak sesuai dengan cita-cita revolusi Indonesia. Dengan dinegasikannya hak istimewa tersebut, pemerintah punya wewenang mengambil sebagian tanah milik aparatur desa era Mangkunegaran dan kemudian membagikannya kepada para petani penggarap.
Namun, pemerintah tetap dikenai kewajian untuk memberi ganti-rugi kepada pemilik tanah dengan harga yang disepakati kedua pihak. Dari peristiwa sejarah ini terbukti bahwa reformasi agraria telah dilaksanakan pemerintahan Soekarno sejak awal kemerdekaan.
Gerakan anti swapraja pun tidak hanya menjadikan tanah-tanah perdikan milik aparat Mangkunegaran untuk ‘dibidik’, tetapi juga menuntut penyerahan pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan milik dari Kasunanan dan Mangkunegaran kepada masyarakat dan kaum buruh. Pergerakan rakyat Surakarta tersebut berbarengan dengan gerakan-gerakan serupa di seantero nusantara, yang bertujuan mengakhiri sistem agraria peninggalan feodal dan kolonial.
Contoh lain reformasi agraria yang dilakukan pemerintah Soekarno pada masa revolusi kemerdekaan adalah dikeluarkannya UU nomor 13 tahun 1948 yang membenahi peraturan sewa tanah konversi milik bangsawan keraton Yogyakarta. UU ini sendiri diajukan oleh suatu panitia yang terdiri dari wakil-wakil pemerintah dan organisasi tani—diantaranya: Barisan Tani Indonesia (BTI), yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI). Aturan perundang-undangan ini bertujuan mengatur ulang sistem upeti berupa uang kasepan dan uang dongklakan yang biasa dibayar rakyat penggarap kepada pihak keraton.
Reformasi Agraria pasca Revolusi Kemerdekaan
Pasca revolusi kemerdekaan, pergolakan rakyat menuntut reformasi agraria secara konsisten dan menyeluruh pun tiada berhenti. Pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959), terjadi pendudukan lahan-lahan perkebunan eks-kolonial Eropa,  khususnya di daerah Sumatera, yang dilakukan oleh kaum tani dan buruh perkebunan yang diorganisir oleh BTI dan SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Se-Indonesia). Seringkali upaya-upaya ini terbentur oleh represi pihak militer yang disokong elit politik, khususnya Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Dua kelompok ini pula yang mempelopori pemberontakan PRRI/Permesta yang didukung sepenuhnya oleh imperialis Amerika.
Situasi ini memicu pemerintahan Soekarno untuk kembali  mengeluarkan regulasi yang mengatur tentang pendudukan dan penggarapan lahan-lahan eks-kolonial. Regulasi itu adalah UU Darurat No. 8 tahun 1954. Aturan perundang-undangan ini menegaskan bahwa tindakan pendudukan dan penggarapan lahan eks-perusahaan perkebunan dan tanah  partikelir Eropa  oleh  rakyat  bukanlah perbuatan melanggar hukum.
Sejatinya, UU Darurat No. 8 tahun 1954 merupakan legalisasi secara tak langsung bagi aksi-aksi massa rakyat yang menduduki dan menggarap lahan bekas kolonial. Keluarnya UU ini tidak hanya memperhebat pendudukan lahan perkebunan eks-kolonial, tapi juga aksi-aksi pengambil alihan pabrik/perusahaan milik Belanda dan modal asing lainnya oleh kaum buruh.
Dihentikannya sistem demokrasi liberal melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memberikan nuansa baru bagi perjuangan reformasi agraria di masa pemerintahan Soekarno. Pada era yang lebih dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin inilah lahir momen yang sangat bersejarah, yakni diundangkannya UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA).
UUPA No. 5/1960 merupakan produk hukum yang mengakhiri hukum agrarian kolonial: UU Agraria 1870. UUPA No. 5/1960 memprioritaskan redistribusi tanah bagi petani miskin, menegaskan fungsi sosial dari tanah serta larangan dominasi pihak swasta dalam sektor agraria. Ini merupakan kemenangan kecil bagi kaum tani miskin.
Redistribusi tanah yang diamanatkan UUPA No.5/1960 dilaksanakan melalui tiga tahap:
1)    Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP)  No. 10 tahun 1961, yang merupakan aturan turunan UU No.5/1960, dilakukanlah pendaftaran tanah di seluruh teritori RI;
2)    Setelah dilakukan pendaftaran tanah, tahapan selanjutnya adalah penentuan tanah yang dikategorikan “tanah lebih” serta pembagiannya kepada petani tak bertanah berdasarkan PP No 224 tahun 1961;
3)    Di tahap ketiga sampai pada  pelaksanaan bagi hasil produksi pertanian yang berdasarkan UU No.2/1960 tentang perjanjian bagi hasil (PBH).
Sebagian besar tahapan-tahapan reformasi agraria itu baru dimulai pada tahun 1963. “Molornya” waktu pelaksanaan reformasi agraria itu, antara lain, karena perjuangan merebut kembali Irian Barat dari tangan kolonialis Belanda pada kurun waktu 1961-1963. Selain itu, ketidak siapan birokrasi dan belum dicabutnya status negara dalam keadaan darurat perang (SOB) oleh militer turut memperlambat jalannya land reform.
Kelambanan dalam penerapan UU PA No.5/1960 memicu ketidaksabaran massa rakyat tani. Dengan diorganisir BTI dan PKI, kaum tani penggarap bertindak langsung dengan menduduki lahan-lahan milik perkebunan swasta dan negara serta ‘tuan tanah’ yang masih tersisa di pedesaan Jawa. Para tuan tanah itu merupakan sisa-sisa kelas feodal yang sebagian bertransformasi menjadi ulama dan berafiliasi pada Nahdlatul Ulama (NU). Adapula kalangan priyayi yang masih menjadi ‘penguasa’ tanah sekaligus pegawai birokrasi dan umumnya berafiliasi pada Partai Nasional Indonesia (PNI). Polarisasi politik ini yang menyebabkan kekuatan Islam (NU) dan PNI konservatif, dengan dukungan militer-Angkatan Darat (AD), sering melakukan sabotase-sabotase terhadap pelaksanaan land reform.
Disisi lain, Presiden Soekarno mendukung penuh pelaksanaan land reform yang sempat tersendat itu. Dalam pidato perayaan HUT RI tahun 1963 yang berjudul ‘Jalannya Revolusi Kita’ (Jarek), Soekarno menegaskan pentingnya pelaksanaan reformasi agraria atau land reform demi tercapainya cita-cita revolusi nasional.
“Revolusi Indonesia tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi,” kata Bung Karno dalam pidatonya tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, Bung Karno juga berkata: “Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!”
Buah dari usainya tahapan pertama reformasi agraria yang dimulai tahun 1963  ialah tersusunnya daftar tanah yang bisa diredistribusikan seluas 337.000 hektar di Pulau Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Kemudian pada bulan Desember 1964 dan Januari 1965, pemerintah melalui Menteri Agraria melaporkan keberhasilan proses “redistribusi tanah-tanah lebih” di Jawa, Madura, Lombok, Bali dan Sumbawa. Tanah yang  sudah diredistribusi adalah tanah negara dengan luas 454.966 hektar dan dibagikan kepada 568.862 orang petani penggarap.
Pemerintah Soekarno sebenarnya berencana melanjutkan program reformasi agraria hingga tuntasnya redistribusi tanah bagi seluruh petani miskin dan penggarap di negeri ini. Namun, kekuatan kontra revolusi yang dipelopori militer-AD dan disokong penuh kaum imperialis Barat telah menghancurkan seluruh proses ini pada tahun 1965-1966.
Soekarno pun jatuh. Seluruh proyek land reform yang dirancang sebagai bagian dari upaya mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia  sudah hancur total. Indonesia kembali memasuki proyek re-kolonialisme. Apa yang ditentang keras oleh Soekarno, yakni tanah menjadi alat penghisapan, terus terjadi hingga sekarang.

Jumat, 30 Desember 2011

Penguasa “Kepala Batu”

Anda tentu sering mendengar istilah “kepala batu”. Istilah ini paling sering dialamatkan kepada orang-orang yang tak mendengar, keras kepala, dan kaku. Istilah ini cukup populer di tahun 1960, sebagai istilah bagi kelompok atau politisi yang menentang revolusi dan kehendak rakyat.
Kita akan berbicara tentang “penguasa yang  berkepala batu”. Maklum, begitu banyak persoalan bangsa yang mengundang protes dan kemarahan, tapi kelihatannya pendirian penguasa tetap bergeming. Penguasa kepala batu ini tetap berjalan dengan pendirian dan logika berfikirnya. Mereka mengabaikan protes dan tuntutan rakyat.
Sejumlah kejadian akhir-akhir ini menunjukkan itu. Tragedi di Mesuji, Lampung, yang menyebabkan rakyat yang memperjuangkankan haknya kehilangan nyawa, justru ditanggapi “lain” oleh penguasa. Denny Indrayana, Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Mesuji, malah sibuk menyelidiki keaslian video Mesuji, tetapi mengabaikan laporan masyarakat terkait kejadian itu.
Lihat pula persoalan rakyat di Pulau Padang. Di sana, sejak bertahun-tahun, rakyat sudah melakukan perlawanan terhadap rencana beroperasinya PT. RAPP. Bagi masyarakat, kehadiran PT. RAPP berpotensi menyebabkan perampasan tanah masyarakat dan kerusakan lingkungan. Demo pun digelar beratus-ratus kali: di kantor Bupati, di kantor DPRD, di kantor Gubernur, ke Kantor Menhut, DPR, bahkan Istana Negara.
Kejadian itu pun terjadi pula di Bima, Nusa Tenggara Barat. Di sana, Bupati yang benar-benar “berkepala batu” menolak tuntutan rakyatnya sendiri untuk mencabut ijin eksplorasi sebuah perusahaan asing. Bahkan, ketika korban jiwa sudah berjatuhan pun, Bupati “kepala batu” ini tetap saja bergeming. Ia ngotot tidak akan mengubah keputusannya.
Tetapi, sebetulnya, ada penguasa yang lebih kepala batu lagi: rejim SBY-Budiono. Sudah lama rejim ini diperingatkan, “tinggalkan jalan neoliberal, kembalilah kepada perekonomian yang membela kepentingan nasional”. Tetapi, entah mengapa, SBY-Budiono tetap saja berkepala batu untuk menjalankan agenda neoliberal.
Yang menjadi pertanyaan kita: kenapa penguasa-penguasa itu begitu tidak peka dengan suara protes dari rakyatnya sendiri? Bukankah kekuasaan mereka memerlukan dukungan rakyat banyak? Kenapa mereka lebih memilih memihak kepentingan segelintir orang ketimbang kepentingan mayoritas rakyat?
Orang sudah sering mengatakan, pemerintah kita mengadopsi jalan yang salah: neoliberalisme. Sistim inilah yang ditengarai membawa kehancuran ekonomi, kekacauan politik, dan kerusakan budaya. Indonesia pun dibuat begitu terpuruk sekarang ini: kemiskinan, pengangguran, korupsi, diskriminasi, kekerasan, dan lain sebagainya.
Kebanyakan para penguasa ini berkuasa dengan uang; mereka membeli suara rakyat, memanipulasi pemilu, membeli lembaga survei, dan lain sebagainya. Di belakang mereka ada kepentingan pemilik modal besar, baik pemilik kapital nasional maupun kapital asing. Pemain dibelakang layar inilah yang mengarahkan penguasa ini dalam pengambilan kebijakan ekonomi dan politik.
Di samping itu, para penguasa ini memang punya cara pandang berbeda soal kekuasaan. Bagi mereka, kekuasaan didefenisikan sebagai kewenangan luar biasa untuk mengumpulkan kekayaaan pribadi. Sehingga, ketika mereka sudah menduduki kekuasaan, maka cara pandang itulah yang bekerja saat mereka merumuskan kebijakan ekonomi dan politik.
Ini pula yang membuat penguasa itu “berkepala batu”.  Mereka tidak mungkin mendengar penderitaan rakyat. Di dalam kepala mereka tidak ada ideologi atau cita-cita tentang kemakmuran bersama. Karena itu, tidak ada kata yang pantas dialamatkan kepada penguasa semacam ini, kecuali “singkirkan si kepala batu”.

Absennya Keadilan

Di negeri bernama Indonesia, rakyat kecil mondar-mandir mencari keadilan. Mereka mengetuk pintu-pintu pengadilan. Tetapi, bukan keadilan yang mereka dapatkan, melainkan penghinaan dan ketidakadilan. Keadilan seolah bukan haknya orang-orang kecil dan lemah di negeri ini.
Tidak terhitung jumlah orang miskin, umumnya dengan kesalahan yang ringan, menjadi korban ketidakadilan lembaga-lembaga peradilan dan aparat penegak hukum di negeri ini. Sebaliknya: tidak sedikit pejabat korup yang dengan gampangnya lolos dari jaring penegak hukum yang memang tak bisa berlaku adil ini.
Kita tengok nasib Anjar Andreas Lagaronda, 15 tahun, seorang pelajar SMU di kota Palu, yang terancam diganjar hukuman penjara lima tahun karena dituding mencuri sandal seorang anggota Polisi. Padahal, harga sandal itu tidak lebih dari Rp35 ribu.
Kisah serupa juga terjadi tahun 2009 lalu. Mbok Minah, seorang nenek berusia 50-an tahun di Banyumas, Jawa Tengah, juga harus rela dipenjara lantaran dituding mencuri tiga biji kakao.
Sekarang, kita coba tengok bagaimana sulitnya aparat penegak hukum ini menangkap koruptor. Meski sudah ada dugaan dan bukti-bukti awal, tetapi aparat penegak hukum belum tentu langsung menangkapnya. Seribu alasan pun dimunculkan: bukti-bukti belum lengkap, masih butuh penyidikan, tersangka sakit, dan lain-lain.
Kita patut bertanya: kenapa pedang keadilan terlalu tajam ke bawah, tapi sangat tumpul saat menghadap ke atas? Bukankah, sebagai negara hukum, penegakan hukum kita mestinya lebih tajam ke atas.
Absennya keadilan juga dirasakan para pencari keadilan di lembaga-lembaga politik: pemerintah dan parlemen. Ada banyak rakyat yang mengadu, karena hak-haknya dirampas secara sewenang-wenang oleh pemilik modal, tapi terkadang diabaikan dan tidak digubris oleh pemerintah.
Lihatlah para petani Pulau Padang di depan DPR. Mereka sudah berminggu-minggu bertahan di tempat tersebut. Tetapi, sampai sekarang, mereka belum mendapat kepastian mengenai tuntutan mereka: apakah dipenuhi atau (kembali) diabaikan oleh pemangku kebijakan.
Coba bayangkan jika yang datang ke DPR adalah delegasi pengusaha. Tentu, tanpa harus menunggu lama, apalagi sampai menginap, mereka akan mendapat jawaban memuaskan dari anggota dewan terhormat. Bahkan, jika saku anggota dewan itu diselipi amplop, maka hasilnya pun tambah memuaskan.
Absennya keadilan tak bisa dipisahkan dari kapitalisme. Mana mungkin sebuah sistem yang menopang diri dari logika mencari untung (profit) bisa berbicara “keadilan untuk semua”. Mana mungkin sebuah sistem yang telah melahirkan kesenjangan, dan sengaja memelihara kesenjangan itu, bisa berbicara soal “keadilan sosial”. Apalagi di jaman neoliberal seperti sekarang, yang oleh banyak intelektual digelari sebagai “kapitalisme tanpa sarung tangan”.
Ini adalah jaman tanpa ideologi. Proses penyelenggaraan negara ini pun tidak punya pijakan ideologi dan politik. Jadi, jangankan berbicara soal sistim hukum yang adil, bicara arah masa depan bangsa kita tak punya pijakan.
Belum lagi, proses perekrutan penegak hukum di Indonesia juga bermasalah. Sudah jadi rahasia umum, bahwa untuk menjadi seorang hakim, jaksa, maupun polisi, anda harus siap-siap menyogok sana-sini. Reformasi belum berhasil menyapu bersih praktek koruptif, kolutif, dan nepotism dalam institusi-institusi tersebut
Dan, lagi-lagi jika ditanya apa solusinya? Kami hanya bisa menjawab: kita harus melakukan perombakan radikal di segala bidang: politik, ekonomi, sosial-budaya, dan lain-lain. Mungkin, inilah yang disebut revolusi.

Kamis, 27 Oktober 2011

Tragedi Lampung


Tragedi Lampung 28 September 1999. Berawal ketika mahasiswa dari Universitas Lampung berjalan menuju Universitas Bandar Lampung untuk bergabung dengan rekan-rekan mereka melakukan aksi menentang RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) serta unjuk rasa solidaritas bagi rekan mereka yang meninggal di Semanggi Jakarta empat hari sebelumnya.
Setelah bergabung, mereka melakukan unjuk rasa dan berjalan menuju Makorem 043/Garuda Hitam. Akan tetapi, ketika melewati markas Koramil Kedaton dekat Universitas Bandar Lampung, mahasiswa dengan segera demi menurunkannya menjadi setengah tiang demi penghormatan bagi mahasiswa yang beberapa hari lalu telah tewas tertembak.
Setelah itu keadaan menjadi tidak terkendali karena Komandan Koramil menolak kehendak mahasiswa untuk menandatangi penolakan diberlakukannya UU PKB, dan terjadi saling lempar batu serta tembakan. Mahasiswa terpencar dan menyelamatkan diri ke dalam Universitas Bandar Lampung. Sesaat setelah itulah diketahu bahwa butiran peluru telah mengambil nyawa Muhammad Yusuf Rizal.
Hari itu tanggal 28 September 1999 Muhammad Yusuf Rizal, mahasiswa jurusan FISIP Universitas Lampung angkatan 1997, meninggal dunia dengan luka tembak di dadanya tembus hingga ke belakang dan juga sebutir peluru menembus lehernya. Ia tertembak di depan markas Koramil Kedaton, Lampung. Puluhan mahasiswa lainnya terluka sehingga harus dirawat di rumah sakit. Beberapa hari kemudian Saidatul Fitriah, Mahasiswa Universitas Lampung yang juga menjadi korban kekerasan aparat, akhirnya meninggal dunia.
Banyaknya korban disebabkan kampus Universitas Bandar Lampung dimasuki oleh aparat keamanan baik yang berseragam maupun yang tidak berseragam. Aparat juga melakukan pengejaran dan pemukulan terhadap mahasiswa, perusakan di dalam kampus yaitu berupa gedung, kendaraan roda dua maupun empat.