Jumat, 30 Desember 2011

Penguasa “Kepala Batu”

Anda tentu sering mendengar istilah “kepala batu”. Istilah ini paling sering dialamatkan kepada orang-orang yang tak mendengar, keras kepala, dan kaku. Istilah ini cukup populer di tahun 1960, sebagai istilah bagi kelompok atau politisi yang menentang revolusi dan kehendak rakyat.
Kita akan berbicara tentang “penguasa yang  berkepala batu”. Maklum, begitu banyak persoalan bangsa yang mengundang protes dan kemarahan, tapi kelihatannya pendirian penguasa tetap bergeming. Penguasa kepala batu ini tetap berjalan dengan pendirian dan logika berfikirnya. Mereka mengabaikan protes dan tuntutan rakyat.
Sejumlah kejadian akhir-akhir ini menunjukkan itu. Tragedi di Mesuji, Lampung, yang menyebabkan rakyat yang memperjuangkankan haknya kehilangan nyawa, justru ditanggapi “lain” oleh penguasa. Denny Indrayana, Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Mesuji, malah sibuk menyelidiki keaslian video Mesuji, tetapi mengabaikan laporan masyarakat terkait kejadian itu.
Lihat pula persoalan rakyat di Pulau Padang. Di sana, sejak bertahun-tahun, rakyat sudah melakukan perlawanan terhadap rencana beroperasinya PT. RAPP. Bagi masyarakat, kehadiran PT. RAPP berpotensi menyebabkan perampasan tanah masyarakat dan kerusakan lingkungan. Demo pun digelar beratus-ratus kali: di kantor Bupati, di kantor DPRD, di kantor Gubernur, ke Kantor Menhut, DPR, bahkan Istana Negara.
Kejadian itu pun terjadi pula di Bima, Nusa Tenggara Barat. Di sana, Bupati yang benar-benar “berkepala batu” menolak tuntutan rakyatnya sendiri untuk mencabut ijin eksplorasi sebuah perusahaan asing. Bahkan, ketika korban jiwa sudah berjatuhan pun, Bupati “kepala batu” ini tetap saja bergeming. Ia ngotot tidak akan mengubah keputusannya.
Tetapi, sebetulnya, ada penguasa yang lebih kepala batu lagi: rejim SBY-Budiono. Sudah lama rejim ini diperingatkan, “tinggalkan jalan neoliberal, kembalilah kepada perekonomian yang membela kepentingan nasional”. Tetapi, entah mengapa, SBY-Budiono tetap saja berkepala batu untuk menjalankan agenda neoliberal.
Yang menjadi pertanyaan kita: kenapa penguasa-penguasa itu begitu tidak peka dengan suara protes dari rakyatnya sendiri? Bukankah kekuasaan mereka memerlukan dukungan rakyat banyak? Kenapa mereka lebih memilih memihak kepentingan segelintir orang ketimbang kepentingan mayoritas rakyat?
Orang sudah sering mengatakan, pemerintah kita mengadopsi jalan yang salah: neoliberalisme. Sistim inilah yang ditengarai membawa kehancuran ekonomi, kekacauan politik, dan kerusakan budaya. Indonesia pun dibuat begitu terpuruk sekarang ini: kemiskinan, pengangguran, korupsi, diskriminasi, kekerasan, dan lain sebagainya.
Kebanyakan para penguasa ini berkuasa dengan uang; mereka membeli suara rakyat, memanipulasi pemilu, membeli lembaga survei, dan lain sebagainya. Di belakang mereka ada kepentingan pemilik modal besar, baik pemilik kapital nasional maupun kapital asing. Pemain dibelakang layar inilah yang mengarahkan penguasa ini dalam pengambilan kebijakan ekonomi dan politik.
Di samping itu, para penguasa ini memang punya cara pandang berbeda soal kekuasaan. Bagi mereka, kekuasaan didefenisikan sebagai kewenangan luar biasa untuk mengumpulkan kekayaaan pribadi. Sehingga, ketika mereka sudah menduduki kekuasaan, maka cara pandang itulah yang bekerja saat mereka merumuskan kebijakan ekonomi dan politik.
Ini pula yang membuat penguasa itu “berkepala batu”.  Mereka tidak mungkin mendengar penderitaan rakyat. Di dalam kepala mereka tidak ada ideologi atau cita-cita tentang kemakmuran bersama. Karena itu, tidak ada kata yang pantas dialamatkan kepada penguasa semacam ini, kecuali “singkirkan si kepala batu”.

Absennya Keadilan

Di negeri bernama Indonesia, rakyat kecil mondar-mandir mencari keadilan. Mereka mengetuk pintu-pintu pengadilan. Tetapi, bukan keadilan yang mereka dapatkan, melainkan penghinaan dan ketidakadilan. Keadilan seolah bukan haknya orang-orang kecil dan lemah di negeri ini.
Tidak terhitung jumlah orang miskin, umumnya dengan kesalahan yang ringan, menjadi korban ketidakadilan lembaga-lembaga peradilan dan aparat penegak hukum di negeri ini. Sebaliknya: tidak sedikit pejabat korup yang dengan gampangnya lolos dari jaring penegak hukum yang memang tak bisa berlaku adil ini.
Kita tengok nasib Anjar Andreas Lagaronda, 15 tahun, seorang pelajar SMU di kota Palu, yang terancam diganjar hukuman penjara lima tahun karena dituding mencuri sandal seorang anggota Polisi. Padahal, harga sandal itu tidak lebih dari Rp35 ribu.
Kisah serupa juga terjadi tahun 2009 lalu. Mbok Minah, seorang nenek berusia 50-an tahun di Banyumas, Jawa Tengah, juga harus rela dipenjara lantaran dituding mencuri tiga biji kakao.
Sekarang, kita coba tengok bagaimana sulitnya aparat penegak hukum ini menangkap koruptor. Meski sudah ada dugaan dan bukti-bukti awal, tetapi aparat penegak hukum belum tentu langsung menangkapnya. Seribu alasan pun dimunculkan: bukti-bukti belum lengkap, masih butuh penyidikan, tersangka sakit, dan lain-lain.
Kita patut bertanya: kenapa pedang keadilan terlalu tajam ke bawah, tapi sangat tumpul saat menghadap ke atas? Bukankah, sebagai negara hukum, penegakan hukum kita mestinya lebih tajam ke atas.
Absennya keadilan juga dirasakan para pencari keadilan di lembaga-lembaga politik: pemerintah dan parlemen. Ada banyak rakyat yang mengadu, karena hak-haknya dirampas secara sewenang-wenang oleh pemilik modal, tapi terkadang diabaikan dan tidak digubris oleh pemerintah.
Lihatlah para petani Pulau Padang di depan DPR. Mereka sudah berminggu-minggu bertahan di tempat tersebut. Tetapi, sampai sekarang, mereka belum mendapat kepastian mengenai tuntutan mereka: apakah dipenuhi atau (kembali) diabaikan oleh pemangku kebijakan.
Coba bayangkan jika yang datang ke DPR adalah delegasi pengusaha. Tentu, tanpa harus menunggu lama, apalagi sampai menginap, mereka akan mendapat jawaban memuaskan dari anggota dewan terhormat. Bahkan, jika saku anggota dewan itu diselipi amplop, maka hasilnya pun tambah memuaskan.
Absennya keadilan tak bisa dipisahkan dari kapitalisme. Mana mungkin sebuah sistem yang menopang diri dari logika mencari untung (profit) bisa berbicara “keadilan untuk semua”. Mana mungkin sebuah sistem yang telah melahirkan kesenjangan, dan sengaja memelihara kesenjangan itu, bisa berbicara soal “keadilan sosial”. Apalagi di jaman neoliberal seperti sekarang, yang oleh banyak intelektual digelari sebagai “kapitalisme tanpa sarung tangan”.
Ini adalah jaman tanpa ideologi. Proses penyelenggaraan negara ini pun tidak punya pijakan ideologi dan politik. Jadi, jangankan berbicara soal sistim hukum yang adil, bicara arah masa depan bangsa kita tak punya pijakan.
Belum lagi, proses perekrutan penegak hukum di Indonesia juga bermasalah. Sudah jadi rahasia umum, bahwa untuk menjadi seorang hakim, jaksa, maupun polisi, anda harus siap-siap menyogok sana-sini. Reformasi belum berhasil menyapu bersih praktek koruptif, kolutif, dan nepotism dalam institusi-institusi tersebut
Dan, lagi-lagi jika ditanya apa solusinya? Kami hanya bisa menjawab: kita harus melakukan perombakan radikal di segala bidang: politik, ekonomi, sosial-budaya, dan lain-lain. Mungkin, inilah yang disebut revolusi.