Sabtu, 07 Januari 2012

Modal Asing Dan Neokolonialisme

Sampai kapan Indonesia bergantung terus kepada “modal asing”? Di jaman kolonialisme, bangsa kita dihisap oleh kapital asing. Sekarang pun, di jaman Indonesia merdeka, modal asing  masih terus menghisap ekonomi nasional kita. Lantas, apa yang sudah berubah?
Kolonialisme, kata Bung Karno, justru menjadi jembatan bagi modal asing untuk jengkelitan di atas bumi Indonesia. Lalu, dengan mengeksploitasi kekayaan alam dan tenaga rakyat Indonesia, mereka memperbesar diri dan terus beranak-pinak. Sementara  rejeki rakyat Indonesia kocar-kacir karenanya.
Bung Hatta tidak ketinggalan memperingatkan bahaya “ketergantungan” terhadap modal asing. Katanya, kalau kapital didatangkan dari luar, maka tampuk produksi akan dipegang oleh orang luaran. Hal itu akan berbahaya: pemodal asing akan dengan leluasa mengangkut keuntungan dari bumi kita. Sebab, logika modal adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Gagasan dua tokoh pendiri bangsa ini—juga para pendiri bangsa lainnya—menjadi dasar perumusan pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 jelas mengisyaratkan pengelolaan sumber daya ekonomi mesti dikontrol oleh negara untuk memastikan keuntungannya bisa memakmurkan rakyat.
Anehnya, sejak jaman orde baru hingga sekarang, tidak satupun rejim yang menjalankan amanat pasal 33 UUD 1945 itu. Pemerintah sejak saat itu sangat patuh dan menghamba kepada modal asing. Di akhir kekuasaan Soekarno, lahir produk hukum yang menaungi kepentingan modal asing: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967.
Lalu, di puncak kejayaan rejim orde baru, pada tahun 1994, seiring dengan tuntutan perluasan modal asing, dikeluarkan PP No 20/1994. Sejak itu, modal asing dibolehkan mengambil posisi dominan dalam perekonomian Indonesia.
Kemudian, pada tahun 2007, di era pemerintahan SBY yang sangat pro-neoliberal, dikeluarkan lagi UU No 25/2007 tentang PMA. Dalam UU PMA yang baru ini, modal asing tidak lagi dibatasi—bisa 100%. Hak guna usaha bisa 94 tahun dan, jika waktunya sudah habis, bisa diperpanjang 35 tahun lagi. Lebih tragis lagi: tidak ada lagi perlakuan berbeda antara modal asing dan domestik.
Modal asing pun menggurita menguasai ekonomi nasional. Akibatnya, sebagian besar sumber daya alam dan sektor ekonomi strategis dikuasai asing. Akhirnya, seperti diperingatkan Bung Karno, sebagian besar keuntungan mengalir keluar, sedangkan rakyat ditinggal kering-kerontang. Konon, rakyat Indonesia hanya menikmati 10% dari keuntungan ekonomi, sedangkan 90%nya dibawa oleh pihak asing keluar.
Kehadiran modal asing juga memicu perampasan tanah rakyat. Tidak jarang, aksi perampasan tanah rakyat disertai kekerasan. Banyak rakyat kita yang menjadi korban di tangan aparat yang menjadi “centeng” pemilik modal. Itulah yang terjadi di Mesuji (Lampung), Bima (NTB), Tiaka (Sulteng), Papua, Sumetera Selatan dan berbagai tempat lain di Indonesia.
Modal asing juga gagal mengangkat ekonomi nasional. Pemerintah dan sejumlah ekonom pro-neoliberal menyakini, kehadiran investasi asing akan membantu pembangunan industri di dalam negeri. Yang terjadi justru sebaliknya: sebagian besar industri dalam negeri gulung tikar akibat tidak bisa bersaing dengan modal asing. Juga, atas tekanan modal asing, sejumlah BUMN strategis kita berpindah tangan kepada pemilik modal asing.
Kita tidak anti terhadap bantuan asing. Setiap bantuan ekonomi yang diterima tidak boleh disertai syarat-syarat yang merugikan: tidak boleh mendikte kita secara ekonomi dan politik. Justru, jika ada bantuan dari pihak luar, negara harus aktif untuk mengkoordinasikan dan mengarahkannya guna membiayai sektor-sektor ekonomi yang prioritas.
Begitu juga dengan investasi asing, hanya diperbolehkan di sektor-sektor yang tidak strategis dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Itupun harus dikontrol dan diarahkan oleh pemerintah. Kehadiran modal asing itu harus menghormati kedaulatan dan martabat bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar